Pada masa
dahulu sebelum ada mikropon atau alat
penguat suara, alat musik gandang tigo
ini digunakan sebagai media informasi untuk menghimbau masyarakat. Apabila
masyarakat akan mengadakan gotong royong atau kerja bakti maka dibunyikanlah gandang tigo dan talempong dengan
keliling kampung sambil meneriakan oi
urang kampuang bisuak kito bagotong royong (hai masyarakat desa besok kita
akan bergotong royong).
Zaman makin
berkembang dan sudah mempunyai alat pengeras suara seperti mikropon, sehingga
sekarang gandang tigo sebagai media
informasi kepada masyarat tidak selalu digunakan lagi untuk hal diatas, akan
tetapi dalam hal ini musik gandang tigo
tetap mempunyai fungsi komunikasi secara tidak langsung. Dimana apabila gandang tigo dimainkan dalam acara
tertentu dalam masyarakat ada sebagai pertanda memberikan informasi pada
masyarakat bahwa acara tersebut sudah dimulai, seperti rapat ninik mamak, mairiak (panen padi), gotong royong, Pararakan dalam baralek( resepsi pernikahan).
Musik gandang tigo terdiri dari tiga macam
yang dimainkan oleh tiga pemain secara batingkah
(dalam konsep musik disebut interlocking). Pemberian nama gandang
tigo ada hubungannya dengan tali tigo
sapilin atau tungku 3 sajarangan yang menggambarkan falsafah hidup orang
Minangkabau, Tali tigo sapilin
melambangkan daerah Minangkabau yaitu luhak
nan tigo sehingga fungsi musik gandang
tigo mengambarkan fenomena tersebut. Hal ini bukan berarti musik gandang tigo dijadikan sebagai lambang
dan pengesahan suatu lembaga yang berkaitan dengan norma norma sosial
masyarakat. Akan tetapi menurut penulis musik gandang tigo sebagai fungsi pelambangan secara tidak langsung bahwa
penyajian gandang tigo terdiri dari
tiga intrumen yang mempunyai satu kesatuan. Terlihat dari bentuk musikalnya
yang dimainkan secara batingkah.
Apabila salah satu intrumen tidak dimainkan maka tidak terbentuknya suatu
keutuhan garap bentuk lagu, sehingga ini akan mengkiaskan falsafah tali tigo sapilin sebagai falsafah hidup
masyarakat Tabek Panjang khususnya, Minangkabau umumnya.